Pada kesempatan kali ini akan membuat artikel mengenai Legenda Asal Usul Rawa Pening Dalam Bahasa Jawa, dan Cerita Singkat, yuk sama-sama kita bahas dibawah ini Pada dahulu kala, di lembah antara Gunung Merbabu atau Telomoyo juga terdapat sebuah desa yang bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami dan istri yang bernama Ki Hajar atau Nyai Selakanta yang sering dikenal pemurah mauun jugap suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka belum mempunyai Meskipun demikian, Ki Hajar dan istrinya selalu hidup rukun dan tenang. Setiap menghadapi permasalahan, mereka selalu akan menyelesaikannya melalui musyawarah tersebut. Suatu hari, Nyai Selakanta duduk yang termenung seorang diri di depan rumahnya. Tak lama kemudian, Ki Hajar datang yang menghampiri maupun juga duduk di sampingnya. “wahai Istriku, kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Selakanta masih saja terdiam sendiri. Ia rupanya masih tenggelam dalam lamunannya lalu sehingga tidak akan menyadari keberadaan sang suami di sampingnya. Ia baru tersadar setelah Ki Hajar memegang pundaknya tersebut. “Eh, Kanda,” ucapnya dengan kaget. “Istriku, apa yang sedang kau pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya. “Tidak memikirkan apa-apa Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika Kanda sedang berpergian. Sekiranya di rumah ini selalu terdengar suara tangis atau juga rengekan seorang bayi, tentu hidup ini tidak sesepi pada saat ini,” ungkap Nyai Selakanta, “yang Sejujurnya Kanda, Dinda ingin sekali memiliki anak. Dinda ingin merawat ataupun membesarkannya dengan penuh kasih sayang.”Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghembus nafas panjang. “Sudahlah, Dinda. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus tetap berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” kata Ki Hajar. “Iya, Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil terus meneteskan air mata. Ki Hajar pun tak akan kuasa menahan air matanya kekita melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu sedag menangis. “Baiklah, Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, bolehkan Kanda pergi bertapa untuk dapat memohon kepada Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar. Nyai Selakanta pun dapat memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk dapat Keesokan harinya,lalu berangkatlah Ki Hajar ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang diri dengan hati semakin sepi hidupnya. Berminggu-minggu, bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selakanta sudah menunggnyau, namun sang suami belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan yang cemas kalau-kalau terjadi sesuatu dengan suaminya. pada Suatu hari, Nyai Selakanta merasa mual lalu kemudian muntah-muntah. Ia pun dapat berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba pada saatnya, ia pun akhirnya melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang telah dilahirkan bukanlah seorang manusia, melainkan seekor bayi menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini dapat diambil dari nama tombak milik suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang pada artinya keturunan Brahmana, yakni seorang resi yang dimana kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara itu kata “Klinthing” berarti lonceng. Ajaibnya, meskipun berwujud naga, Baru Klinthing dapat juga berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta pun dapat terheran-heran akan bercampur haru melihat keajaiban itu. Namun di sisi lain, ia juga sedikit merasa Sebab itu, betapa malunya ia jika warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor bayi naga. Untuk menutupi hal tersebut, ia pun juga berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. tetapi pada sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga tumbuh besar agar dapat menempuh perjalanan menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya lumayan cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selakanta merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa adanya sepengetahuan warga sekitar. Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi seorang Suatu hari, anak itu bertanya kepada ibunya. “Bu, apakah aku memiliki ayah?” tanyanya dengan polos. Nyai Selakanta tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu keluar dari mulut anaknya tersebut. Namun, hal itu telah menyadarkan kepada dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing mengetahui siapa ayahnya. “Iya, anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Tapi, ayahmu saat ini sedang bertapa di lereng Gunung Pergilah temui dia dan katakanlah padanya bahwa engkau ialah putranya,” kata Nyai Selakanta.“Tapi, Bu. Apakah ayah mau akan mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru Klinthing dengan sangat ragu. “Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai barang bukti,” ujar Nyai Selakanta, “Pusaka itu milik ayahmu.” Setelah memohon restu au juga menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju lereng Gunung sampai di sana, masuklah ia ke dalam gua dan menemuai seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting rupanya mengusik ketenangan pertapa itu tersebut. “Hai, siapa dsana?” tanya pertapa. “Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya sangat mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting. Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara layaknya seperti manusia. “Siapa kamu dan kenapa kamu dapat berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan sangat heran. “Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh saya tahu, apakah benar ini tempat pertapaan bapak Ki Hajar?” “Iya, aku Ki Hajar. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa itu semakin penasaran. Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung saja bersembah sujud di hadapan didepan ayahnya. Ia lalu kemudian menjelaskan siapa Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya mempunyai anak berujud ialah seekor naga. Ketika naga itu telah menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Hajar pun mulai percaya. Namun, ia belum yakin ia sepenuhnya. “Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu ialah milikku. tetapi, bukti itu belum tentu cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu kelilingi Gunung Telomoyo ini!”kata Ki Hajar. Baru Klinthing segera melaksanakan suatu perintah tersebut untuk daat meyakinkan sang ayah. Berbekal kesaktian yang telah dimiliki, Baru Klinting berhasil mengelilingi Gunung Akhirnya, Ki Hajar pun telah mengakui bahwa naga itu ialah putranya. Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk dapat bertapa di Bukit Tugur. “Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” kata Ki Hajar, “Suatu saat nanti, tubuhmu akan berubah wujud menjadi manusia sempurna.” “Baik,” jawab Baru Klinthing. pada Sementara itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun sayang penduduk desa ini sangat Suatu ketika, penduduk Desa Pathok yang bermaksud mengadakan merti dusun bersih desa, yaitu pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk dapat memeriahkan pesta, akan adanya digelar berbagai pertunjukan seni maupun tari. Berbagai makanan lezat pun akan dipersiapkan sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur itu. Sudah hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang Ketika hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain alah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai sedang menangkap atau juga memotong-motong daging naga itu lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan hidangan dalam pesta tersebut. Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau tidak sedap. Rupanya, anak laki-laki itu merupakan penjelmaan Baru Klinthing. Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut dapat bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memaki-maki, bahkan sempat mengusirnya. “Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga sekitar, “Tubuhmu bau tidak sedap sekali.” Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia lalu berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa tersebut. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seseorang janda tua yang bernama Nyi Latung. “Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta bersama yang lainnya?” tanya Nyi Latung. “Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku yang luka luka,” jawab Baru Klinthing, “Padahal, saya sangat lapar sekali.” Nyi Latung yang sangat baik hati itu pun juga mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera menghidangkan sebuah makanan yang lezat. “Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang sangat baik hati di desa ini juga.” “Iya, cucuku. Semua warga di sini mempunyai sifat angkuh. Mereka pun tidak akan mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Latung. “Kalau, begitu. Mereka juga harus diberi pelajaran,” kata Baru Klinthing. “Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, secepatnya siapkan lesung kayu lumpang alat menumbuk padi!” Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebuah batang lidi. Setiba di tengah keramaiannya, ia telah menancapkan lidi itu ke tanah. “Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat,cobala cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing. Merasa diremehkannya, warga pun datang beramai-ramai hendak mencabut lidi Mula-mula, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak ada seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja yang Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu tak ada seorang pun dari mereka yang mampu mencabut sebatang lidi itu tersebut. “Ah, kalian semuanya payah. Mencabut lidi sekecil ini saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing. Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun dapat mencabut lidi itu dengan alangakah mudahnya. Begitu lidi itu sdah tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, datanglah air yang menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air ini juga semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak akan menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sia sia, sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka semua. Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa ataupun juga danau, yang kini sering disebut dengan Rawa Pening. pada Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah peristiwa itu terjadi, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk dapat menjaga Rawa Pening. Asal Usul Rawa Pening Dalam Bahasa Jawa Singkat Rawa Pening “pening” asale saka tembung “bening” yaiku tlaga kang uga dadi papan plesiran kang ana ing Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Ambane hektare, panggonane ana ing wilayah KecamatanAmbarawa, Bawen, Tuntang, lan Banyubiru. Rawa Pening panggone ing cekungan paling ngisor lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, lan Gunung Ungaran. Tlaga iki pernah kadadeyan banyune ngganti asat. Pernah dadi panggonan kanggo golek iwak, saiki arep kabeh ketutup tanduran eceng gondok. Enceng gondok iki uga wis nutupi Kali Tuntang, paling akeh bagian pinggir. Kanggo ngresiki enceng gondok utawa spesies invasif iki dilakokake kanthi cara ngresiki sarta diiadakake pelatihan gunane eceng gondok kanggo kerajinan. Menurut legenda, Rawa Pening kadadeyan saka lubere banyu kang mili saka bekas dudutan sada utawa ing basa Indonesia diarani lidi kang dilakokake dening Baru Klinthing. Crita Baru Klinthing kang maleh dadi bocah cilik kang lagi lara lan ambune amis, saengga orra bisa ditampa dening masyarakat amarga awake kang kebak borok lan ambune kang amis. Nanging akhire Baru Klinthing iki mau ditulung dening randha kang wis tua. Tlaga rawa pening iki disenengi dening para wisata kanggo obyek wisata pemancingan lan kanggo olahraga banyu. Nanging saiki , para wong kang golek iwak nganggo prau, praune angel obah amarga akehe tanduran enceng gondok. Demikianlah artikel tentang √ Legenda Asal Usul Rawa Pening Dalam Bahasa Jawa, dan Cerita Singkat dari semoga bermanfaat.
LegendaRawa Pening. Tinggalah sepasang suami dan istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta. Mereka berdua menetap di desa bernama Ngasem. Desa tersebut terletak di antara Gunung Merbabu dan Telomoyo. Keduanya terkenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh warga di sekitarnya.Rawa pening adalah salah satu objek wisata yang cukup terkenal di provinsi Jawa Tengah. Selain keindahan yang di tawarkan rawa ini, rawa pening juga menyimpang legenda yang di percaya sebagian masyarakat. Ada banyak versi dari legenda rawa pening, namun disini kami akan menulis dalam bahasa Jawa. Berikut cerita singkatnya. Asal Mula Naga Baru KlintingLahirnya Naga Baru KlintingPerjalanan Bertemu AyahnyaBaru Klinting Bertemu AyahnyaAsal Usul Rawa PeningUnsur Intrinsik Rawa PeningTemaTokohLatarAlur CeritaSudut PandangAmanat / Pesan Moral Asal Mula Naga Baru Klinting Ana dushun jenenge Ngasem, kecamatane Ambarawa lan ana ing Kabupaten Semarang. Ing dhusun Ngasem ana padhepokan sing kondhang. Jeneng guru padhepokan kasebut yaiku Ki Hajar Salokantara. Ki Hajar duwe sifat sing wicaksana. Ana salah sijine murid padhepokan kang ayu banget, jenenge Ni Endhang Ariwulan. Ing salah siji dono, Ni Endhang bingung golek peso sing biayasane di gawe nyigar pinang. Pinang kuwi biasane di gawe sesajen wayah dalu. Kanthi kapeksa, akhire Ni Endang matur marang Ki Hajar supados iso nyilih pesone Ki Hajar. Ki Hajar gelem nyilihi peso, mergo waktune wis mepet. Nanging kudu ngati-ati gowo pesone. Ojho sampek di salah gunakne lan ojho di deleh ing pangkon. Ni Endhang setuju syarate Ki Hajar. Nanging dheweke kesupen, pesone di deleh ing pangkon. Saknaliko iku pesone langsung ilang. Ni Endhang rumangsa salah lan radha wedhi, dheweke ngadep Ki Hajar. Sawise matur, Ki Hajar ora nesu. Lan dawuh yen peso iku sakjane ora ilang. Nanging peso iku ana ing jero wetenge Ni Endhang. Ing satunggali dino Ni Endhang bakale meteng. Saking welas asih supados Ni Endhang ora dadi aibe dhusun, Ki Hajar rabi karo dheweke. Ni Endhang lan Ki Hajar rabi kanthi meneng-meneng ben ora ono warga sing ngerti. Sakwisi iku Ni Endhang urip ana ing dhusun kang sepi. Baca Juga √ Cerita Rakyat Bahasa Jawa Danau Toba Singkat Lahirnya Naga Baru Klinting Ing dhusun kasebut, Ni Endhang urip dewe nganti anake lahir. Ki Hajar matur yen arep tapa brata ing Redi Telamaya supados kuthukane peso sakti ilang. Lan ngekei piranti sing wujude klinthingan. Klinthingan kui mengko kudu di kalungke ing jabang bayi minangka bukti yen bocah iku putrane Ki Hajar. Ora suwe jabang bayine Ni Endhang lahir, nanging wujude Naga. Polahe bayi naga kuwi podo kaya bayi liyane yaiku iso nangis lan ngucap. Wiwitane Ni Endhang radha wedi, nganti suwe dheweke welas lan trena marang anake. Senajang wujude naga, bayine di openi Ni Endhang kanthi rasa tresna nganti bayine diwasa. Anake Ni Endhang sing wujude naga di jenengi Baru Klinting. Perjalanan Bertemu Ayahnya Nalika diwasa, naga wau takon marang ibuke sopo jeneng bapake lan ana endi saiki. Ni Endhang ngomong yen bapake jenenge Ki Hajar, saiki lagi tapa brata ing Redi Telamaya. Naga Baru Klinting arep nyusul bapake sing ana ing Redi Telamaya. Ni Endhang banjur ngalungke klintingan saking Ki Hajar, ben naga baru klinting di akoni anak karo Ki Hajar. Ni Endhang ya melu Baru Klinting nyusul Ki Hajar mergo panggone adoh. Ibuke lan baru klintting lewat kali, banjur leren ing Selo Sisik. Sawisi iku mlaku maneh ing ngambah rawa lan liwat Kali Agung. Sawisi iku leren maneh ing Selo Gombak. Dino, wulan lan tahun wis di liwati, Baru Klinthing isih nyoba nemoni bapake kanthi semangat. Saking adohan Ni Endhang ngetutne Baru Klinting sing wis ketemu panggone Ki Hajar tapa. Ni Endhang manggon ing cedeke sendhang utawi danau. Sendhang panggone Ni Endhang manggon kasebut Sendhang Ari Wulana. Baru Klinting Bertemu Ayahnya Ki Hajar kaget delok naga ing pertapaan, naga Baru Klinting ngormati Ki Hajar yaiku bapake dewe. Ki Hajar ngerteni yen naga kuwi ora olo, nanging naga kang duweni ati apik. Naga baru klinting tanglet Ki Hajar Salokantara opo bener iki dhusun Tamemaya?. Ki Hajar sing kaget yen naga iki iso omong, jawab iyo. Baru klinting seneng banget, banjur ngomong menawi Ki Hajar iku bapake dheweke sing wis di goleki. Baru klinting banjur sujud ing ngarepe Ki Hajar, nanging Ki Hajar ora langsung percoyo yen dheweke iku anake. Ki Hajar menehi pitakon, sopo ibumu? lan asalmu teka ndi?. Ujare Ki Hajar. “Ibuku jenengen Ni Endhang Ariwulan asale dhusun Ngasem”. Wangsulane Baru Klinting. Baru Klinting uga ndudokne klinting Ni Endhang sing di wenihi Ki Hajar. Nanging Ki Hajar ngomong yen klinting iku durung cukup buktikno Baru Klinting anake Ki Hajar. Supoyo di anggep anake Ki Hajar, ana syarat sing kudu di lakoni Baru Klinting yaiku kudu nglakoni tarak brata. Tarak brata yaiku mlungkeri gunung Kendhil. Ki Hajar ngetutne Baru Klinting, nanging ora di ngerteni. Baru Klinting mlungkeri Gunung Kendhil, nanging buntute ora iso nyatu lan kurang sak kilan. Baru Klinting banjur nambahi karo ilate, Ki Hajar banjur mlumpat lan nugel ilate naga iku. Baru Klinting kelaran, Ki Hajar maturi yen kirangan ora iso di tutupi damel ilat. Ilat niku pusaka sing ora ana tandingane. Baru Klinting banjur nerusne tarak brata, ilate di damel pusaka sing wujude tombak kyai Baru Klinting. Wulan lan tahun wis di lewati, awake Baru Klinting sing mlungker ora ana lan ora iso di delok. Sing ana namung suket lan wit-witan alas. Asal Usul Rawa Pening Ana salah sijining dhusun jenenge dhusun Pathok. Pathok yaiku dhusun kang “gemah ripah loh jinawi“. Nanging warga ing dhusun Phatok ora duwe rasa syukur marang Gusti Allah. Ing sawijining dina, dhusun Phatok lagi ngadakake pesta panen raya. Salah sijine warga arep mecah woh pinang gawe campurane susur. Anggone mecah yaiku di tataki wit kang tuwek lan warnane ireng banget. Jebule wit kayu iku awake naga Baru Klinting. Awake Baru Klinting sing rupane naga ulo di kethok-kethok gawe pesta. Ora nyana, sukmane Baru Klinting ngetutno salah sijining warga dhusun Pathok. Sukmane Baru Klinting jelmo dadi wong sing ganteng, gagah nanging radha reget, jenenge Jaka Bandung. Pas lagi ana pesta, Jaka Bandung jaluk panganan, nanging di usir warga. Jaka banjur mlaku ning dalan kalih mbok rondho. Mbok rondho nakoni Jaka, ngopo kuwi kok ketok lesu. Jaka banjur nyritakake kedadean mau sing di usir warga mergo jaluk panganan ning acara pesta. Mbok rondho ngajak Jaka ning omaha lan di wenehi mangan. Mbok rondho cerito ing dhusun pathok kuwi tandurane podho subur, wargae sugih-sugih. Nanging podho serakah kabeh lan medhit. Mbok Rondho yo ora di undang ing pesta kuwi mergo ora sugih utawa mlarat lan rupane elek. Sakwisi mangan, Jaka pesen maring Mbok Rondo yen ana suara gemuruh, mbo Rondo kudu melbu lesung, gowo enthong lan gowo keperluane sacukupe. Lajeng Jaka Bandung budal ning pesta mane lan jaluk panganan mane. Nanging pancet wae ora di kei panganan lan di ilok-ilokne karo sekabehane warga sing ana ing pesta. Akhire Jaka nantang sopo sing iso njabut sada sing mau di sembah ping pitu. Nanging ora ana sing iso njabut sadae. Kabeh wong dhusun Pathok podo ngguyu karo tantangane Jaka Bandung. Bocah-bocah padha di kongkon narik sada kasebut. Nanging anehe ora ana sing iso njabut sada kasebut. Banjur wong diwasa maju kanggo nyoba tantangane Jaka Bandung. Siji utawa loro wong podho gagal, mula dheweke nyoba narik sada kasebut bebarengan nanging gagal. Jaka Bandung sing sukmae di isi Baru Klinting banjur nyentak. “He sakabehane wong dhusun Pathok, rungokna! Aku iku naga gedhe sing di kethok banjur di pangan ing pesta! “Nanging nalika aku teka jaluk sawetara daging, ora di wenehi merga aku ora katon kaya iki! Saiki aku teka lan bakal ngukum kowe kabeh.” Wong desa padha ngerti kesalahane, nanging wis telat. Ing wektu sing padha, Jaka Bandung nyopot tongkat kasebut. Saka bekas tongkat kasebut, mili banyu sing deres banget di barengi gemuruh kan banter. Banjir gedhe wis teka, kabeh desa lan wong desa padha klelep. Sing slamet namung wong siji yaiku mbok rondho sepuh sing wis nulung Jaka Bandung. Sumbere banyu sing gedhe kuwi isih ana nganti saiki yaiku sing jenenge Tlaga Rawa Pening. Baru Klinting wujude dadi ula naga sing gedhe maneh lan manggon ana ningsore Tlaga Rawa Pening. Naga gedhe kuwi saiki dadi sing njaga Tlaga Rawa Pening. Baca Juga √ Cerita Legenda Bahasa Jawa Candi Prambanan Singkat Unsur Intrinsik Rawa Pening Setelah membaca cerita secara keseluruhan, maka kita dapat menganalisis unsur-unsur intrinsik cerita tersebut. Berikut unsur intrinsik legenda rawa pening. Tema Tema CeritaLegenda rawa pening bercerita tentang sikap yang kurang baik akan mendatangkan malapetaka. Tokoh Tokoh CeritaKi Hajar Salokantara baik hati, sabar, bijaksana, senang menolong. Ni Endhang Ariwulan teledor, penyayang. Baru Klinting / Jaka Bandung baik hati, tidak gampang menyerah. Mbok Rondho baik hati, suka menolong. Latar Latar CeritaTempat Dhusun Ngasem, Dhusun Pathok, Selo Sisik, Ngambah Rawa, Kali Agung, Selo Gombak. Waktu pagi, siang, malam. Alur Cerita Alur CeritaAlurnya maju, karena menceritakan asal usul baru klinting sampai dia dewasa dan cerita akhir hidupnya. Sudut Pandang Sudut Pandang CeritaMenggunakan sudut pandang orang ketiga karena menceritakan kisah orang lain. Amanat / Pesan Moral Pesan Moral Jadi manusia harus berhati-hati karena jika teledor akan membawa dampak yang kurang baik. Manusia harus memiliki rasa syukur agar hidupnya menjadi lebih indah. Jadilah manusia yang rendah hati. Kesombongan hanya akan membawa petaka untuk diri kita sendiri. Nah, itulah ringkasan cerita rawa pening bahasa Jawa. Semoga pesan moral dalam cerita dapat tersampaikan dengan baik, sehingga kita dapat mengambil pelajaran berharganya..